Jumat, 19 Februari 2010

RINGKASAN ISI SUREK GALIGO SAWERIGADING DAN LA GALIGO KE SENRIJAWA

RINGKASAN ISI SUREK GALIGO
SAWERIGADING DAN LA GALIGO KE SENRIJAWA

1. Sawérigading mendatangi isterinya yang bernama I Wé Cudai memberitahukan bahwa anak angkatnya yang bernama La Mappanyompa mengundangnya ke Senrijawa untuk menghadiri uapacara yang diadakan oleh saudaranya.
2. Utusan pembawa undangan itu juga mengundang anak datu tujuh-puluh, sambil mengatakan bahwa sejak bulan lalu dia mengantar juga undangan ke Tompo Tikka, Singki Wéro dan Lau Saddeng.
3. Anak datu tujuh-puluh sedang asyik menyabung ayam di gelanggang, sedang Wé Tenridiyo yang bergelar Batari Bissu anak Sawérigading yang dinasibkan menjadi bissu sejak kecil, menengadah ke langit berkomunikasi dengan orang kayangan suami langitnya yang bernama To Sompa Riwu.
4. To Sompa Riwu turun dari langit menjemput Wé Tenridiyo menaikkannya ke Boting Langi. Dalam perjalanannya ke Boting Langi, dia melihat dunia yang ditinggalkan itu besarnya hanya bagaikan sebua kempu.
5. Setiba Wé Tenridio di Boting Langi, dia mendengar dari bawah bunyi gendang besar, gendang upacara Wé Tenribali saudara La Mappanyompa, yang sedang mengadakan upacara di Senrijawa.
6. Wé Tenridio meminta kepada suaminya agar dapat diturunkan sebentar ke Senrijawa untuk menyaksikan upacara seppunya itu, tanpa dapat dilihat oleh orang lain.
7. Setibanya di Senrijawa, dia melihat menyaksikan ada tiga ratus orang anakarung yang memegang peralatan bissu dan menyaksikan juga kecantikan Wé Tenribali saudara La Mappanyompa.
8. To Sompa Riwu meminta kepada Wé Tenridiyo agar dapat menampakan dirinya supaya dapat dilihat dan dijemput kedatangannya oleh Wé Tenribali.
9. Wé Tenridiyo pun menampakkan diri dan dijemput oleh Wé Tenribali, tetapi karena tidak mau duduk kalau bukan tikar-guntur yang diduduki sedang di Senrijawa tidak ada tikar yang demikian, maka neneknya yang ada di Boting Langi segera menurunkan tikar-guntur untuk diduduki oleh We Tenridiyo.
10. Bagaikan bara menyala kelihatan di dalam bilik tikar-guntur yang diturunkan dari langit itu. (ceritera tidak bersambung seperti ada halaman hilang)
11. Setelah selesai menyabung ayam di gelanggang, To Sompa Riwu yang bergelar Datunna Soppéng, masuk ke dalam bilik, Wé Tenridiyo tidak nampak. Rupanya dia sedang turun mandi pada piring manurung, tidak mau berhenti.
12. Datunna Soppéng menanggalkan pakaiannya lalu melompat masuk ke dalam air untuk menjemput isterinya, tetapi tidak bisa di tangkap karena bereobah menjadi bayangan.
13. Datu Soppéng membujuknya, khawatir nanti sakit isterinya, tetapi We Tenridiyo tidak mau. Dia mau berhenti mandi kalau dijaring dengan sarang laba-laba yang tali penariknya dari seutas rambut. Sampai tengah malam mereka berdua terus terapung di atas air.
14. Datu Wéttoing di Boting Langi memaklumi hal ini. Segera memerintahkan agar laba-laba emas dikeluarkan dari sarangnya untuk membuat sarang dan mencabut selembar rambutnya sebagai tali penariknya untuk menjala Wé Tenridio
15. Dengan perasaan geli dia menerima dan memperhatikan jala sarang laba-laba emas itu, diapun menjala isterinya, menaikkannya kemudian mengganti pakaiannya lalu pergi tidur. Tidur berbulan madu sepanjang malam.
16. Puluhan ribu pendamping Sawérigading, La Galigo dan anak datu tujuh-puluh beriringan di tengah laut, saling bersorakan menuju ke Senrijawa menghadiri upacara saudara La Mappanyompa. La Mappanyompa adalah anak angkat Sawérigading.
17. Dalam pelayarannya ke Senrijawa mereka singgah di suatu pulau dan memerintahkan supaya Ladunrung Séreng, komandan burung beserta kelompoknya pergi mencari mangga manis yang ada di pulau itu. Hanya sebuah mangga saja yang didapat.
18. Sawerigading pun mengatakan, ’’Tak sampai hatiku memakan buah mangga ini tanpa ibu Wé Tenridiyo (I Wé Cudai). Antarlah buah ini ke Latanété supaya dia makan saja dengan anaknya.’’
19. Sesampai di Latanété, Ladunrung Séreng memberikan buah itu kepada I Wé Cudai sambil menyampaikan pesan. I Wé Cudai menerimanya sambil menitipkan juga makanan kesukaan Sawérigading.
20. Di tengah laut bertemulah rombongan perahu To Palennareng yang juga akan menuju ke Senrijawa, sebagai pengganti diri Batara Lattuk orang tua Sawérigading, yang tidak berkesempatan hadir.
21. To Padamani (La Galigo) menatapkan mata memperhatikan keberangkatan perahu La Tenroaji itu sambil berkata, ’’Memang cantik sekali kelihatan Wé Tenriolle isteri La Tenroaji tadi. Mudah-mudahan dia bercerai, lalu aku memperisterikannya.’’
22. Tertawa orang semua, To Appemanuk juga mengatakan, ’’Mengapa engkau mencintai orang yang lebih tua dari ibumu. Mudah-mudahan engkau beruntung Galigo, engkau dapat mrngawininya kalau dia bercerai dengan suaminya.’’ La Mssaguni juga berkata, ’’Kalau demikian, Wé Walek itu dinasibkan tak jauh dari orang Luwu, karena Sawérigading juga pernah kawin sembunyi dengan dia sewaktu kecilnya.
23. Rupanya sudah dinasibkan anaknya lagi mengganti bapaknya, melilitkan lengan pada pinggang Wé Walek serta membantalkan pada lengan La Galigo.’’
24. Berteriak bergembira semua di sekeliling perahu Lawélenréng. Bagaikan mau tumpah air laut. To Palennareng mengatakan, ’’Rupanya kau Opunna Warek, sudah menyerahkan kekuasaan besarmu, jabatan kekuasaanmu, kedudukan tinggimu kepada To Botoé (La Galigo).’’ Dijawab oleh Sawérigading bahwa memang La Galigolah yang sudah dinaungi payung manurung memerintah kolong langit, permukaan bumi.
25. ‘’Sayang sekali engkau tidak mengizinkannya ke Luwu bertemu dengan kedua Sri Paduka orang tuamu yang sudah lama sekali mereindukanmu,’’ Ujar To Palennareng. Dijawab oleh Sawérigading, ’’Saya tak dapat berpisah dengan dia. Mudah- mudahan keturunannya nanti yang dapat menggantiku ke Luwu.’’
26. Rupanya ada utusan Opunna Wadeng menunggu di tengah laut menjemput dan mempersilahkan Sawérigading singgah dahulu di Wadeng untuk menikmati perjamuan Wé Tenrirawé isteri Opunna Wadeng, sepupu sekali Sawerigading. Nanti bersama sama dengan rombongannya menuju ke Senrijawa.
27. Penjemputan dipersiapkan secara besar-besaran. To Palennareng bertanya kepada Sawérigading tentang ucapannya dulu mau mengawini Wé Tenrirawé, sepupu sekalinya yang telah diperisterikan oleh Opunna Wadeng.
28. Sawérigading memberi jawaban bahwa keinginannya itu dibatalkan setelah dia memperisterikan I Wé Cudai. Memang sebelum itu, pikirannya tak pernah melupakan kecantikan Wé Tenrirawé.
29. Rombongan Sawérigading sudah mendekat di pantai Wadeng. Akan dijemput secara besar-besaran. Tak berhenti-hentinya senapan dibunyikan. Bunyi gendang kerajaan dipukul bertalu-talu pertanda bahwa keturunan manurung di Luwu akan tiba di pelabuhan
30. Bagaikan banjir datangnya penjemput di pantai. Opunna Wadeng datang dengan segera, bergegas tanpa menaiki usungn keemasan lagi.
31. Sawérigading terheran-heran sambil bertanya kepada La Sinilélé, ’’Mengapa keadaan laut di luar pantai Wadeng jauh sekali bedanya dengan keadaan waktu kita datang pada beberapa tahun yang lalu.’’ Dijawab oleh La Sinilélé bahwa memang kita masuk dari arah yang lain. Kita ini melalui simpang arus laut yang angker.
32. Kelihatan tinggi melangit arus yang berpapasan. Kabarnya di sinilah biasa berkubur perahu besar pelaut. Sawérigading berkata, ’’Mari kita tantang keangkeran samudra ini, supaya penghuninya jangan merasa sombong terus.’’
33. Perahu rombongan Sawérigading menerobos arus pusaran air raksasa yang diiringi kilat guntur dan petir yang menyebabkan perahu rombongan Sawérigading tertahan dihantam arus.
34. Sawérigading mengeluarkan ilmu dari tempat sirihnya yang dapat menghembuskan topan, petir halilintar ke laut. Rombongan perahunya dapat melalui gunungan air laut yang biasa ditakuti orang untuk melaluinya sekalipun mereka adalah anak dewa. Tertawa saja La Tenripeppang yang sedang berada di pantai menyaksikan hal itu.
35. Demikian tinggi gunung air laut itu, sampai Sawérigading dapat melihat Jawa Timur dan Jawa Barat, Sama Barat dan Maloku. To Palennareng mengatakan kapada Sawérigading bahwa kalau melihat istana Maloku dan Ternate itu terbayang lagi di hatiku istana La Maddaremmeng waktu kita ke sana.
36. Kenangan itu menyebabkan air mata Sawérigading berlinang linang, mengenang keberadaannya dulu di sana, waktu bertemu perempuan yang bernama Wé Tabacina.
37. Kecantikannya bagaikan anak dewa yang turun dari langit. Suatu malam sesudah makan malam, Wé Tabacina membereskan tempat peraduan Sawérigading.
38. Dibisikkan kepadanya waktu itu bahwa sebenarnya badan ratu yang diinginkan jadikan bantal, dijawab olehnya bahwa siapa lagi yang harus ditaati keinginannya selain orang besar. Diapun tertawa Sawérigading juga terlena, lalu berangkat bersama masuk ke kamarnya.
39. Keesokan paginya sebuah piring nasi mereka berdua Sawérigading mengucapkan bahwa andai dia kembali ke negerinya, dia akan merana dirindu khayal di tengah malam karena mengingat rindu bersamanya di tengah malam. Mungkin salah satu obat untuk mengtasinya adalah membuka jendela dan menjenguk melepaskan pandangan mata kearah Maloku.
40. Dijadikan buah mulut bahwa Wé Tabacina orang Maloku itu tak dinasibkan oleh To Palanroé duduk berjodohan dengan Sawérigading. Diapun menjawab bahwa akan dikenang dan disimpan di dalam perutnya, katakan saja ibunya di Maloku itu mau meletakkan jabatannya untuk Sawérigading tetapi dia tidak mau.
41. Sawérigading mengatakan bahwa makananpun tak dapat kutelan, tak mau lewat di kerongkonganku karena selalu mengenang si cantik molek lagi sangat manis yang pandai mengeluarkan ucapan dan cendekia berfikir itu. Sawérigading menatapkan mata terus arah di mana letaknya istana Maloku itu.
42. Gembira sekali I La Galigo setelah selamat melintasi gunungan air laut dan pusaran papasan pusaran air laut yang angker itu. Rembang tengah hari, rombongan perahu sudah sampai berlabuh di pantai Wadeng, dijemput dengan letusan senapan yang bunyinya bagaikan petir bersambungan.
43. Segera saja Sawérigading naik di pantai digeserkan orang untuk berlalu. Duduk bersama Sawérigading dengan La Tenripeppang, disuguhi sirih sambil mendengar ucapan kuur semangat orang Wadeng kepada Sawérigading atas keikhlasannya singgah dahulu di Wadeng sebelum meneruskan pelayarannya ke Senrijawa.
44. Sudah mendekat juga perahu Lawélenreng tumpangan raja muda La Galigo yang sudah diserahi jabatan menjadi yang dinaungi payung di Luwu. Segera juga dijemput untuk turun ke darat.
45. Kuur semangat diucapkan kepada La Galigo sebagai tamu kehormatan, sebagai tanda gembira. Opunna Wadeng memberi hadiah kepada La Galigo sebuah kampung yang bernama Wadeng Barat yang ditempati gunung emas dapat mengeluarkan emas murni, berpianak bagaikan kerbau. La Galigo dipersilahkan naik ke darat untuk bertemu dengan bibinya (Wé Tenrirawe sepupu sekali Sawérigading)
46. Rombongan La Galigo naik ke darat memenuhi pantai dengan pakaian indah dijemput dengan bunyi-bunyian aneka mcam. Tujuh puluh usungan emas mengiringinya
47. Dijemput dengan upacara bissu oleh Puang Matowa. Bagaikan petir guntur suara letusan senapan sebagai maklumat bahwa tunas dewa menginjak negeri. Gendang emaspun dibunyikan, sekali pukul tujuh kali bergema, gemanya sampai ke langit.
48. Kedengaran juga di seluruh permukaan bumi. Berseliweran orang banyak bagaikan mau runtuh tanah di negeri Wadeng, diberlalukan melalui pancangan umbul-umbul serta diperpatahkan bambu emas.
49. Orang banyak mengagumi kegagahan kegantengan Sawérigading, sambil mengatakan bahwa beruntung sekali orang yang, sedang La Galigo adalah orang muda yang tiada tolak bandingannya, mudah-mudahan beliau mau kawin di negeri kita ini
50. Sudah sampai Sawérigading dan La Galigo di depan istana. Tujuh puluh macam alat perupacaraan yang dipergunakan Wé Tenrirawé ibu La Mappanyompa. Dia mengangkat talam, menaburkan bertih emas waktu menginjak tangga.
51. Bergumam semua orang banyak menyaksikan ketururunan dewa dua beranak. Ibu La Mappanyompa mengucapkan, ’’Kuur jiwamu Opunna Warek, semoga tetap semangat kehiyanganmu, naiklah di istanamu, kupersilahkan semua wahai anak datu tujuh-puluh.’’ Bagaikan topan gemuruh suara tannga yang dilalui.
52. Bergandengan tangan Opunna Warek dan La Galigo memasuki ruang tengah. Penuh sesak istana, dikipas-kipasi oleh dayang-dayang. We Tenrirawé sendiri yang menyuguhkan sirih kepada Sawérigading dua beranak.
53. Sawérigading menjemput sirih pada sepupunya, sedang La Tenripeppang mengangkatkan tempat sirih kepada To Appémanuk dan anak raja pendamping lainnya.
54. Ada tiga ratus pelayan mulia meladeni para tamu. Berseliweran kawah emas tempat bahan makanan para tamu undangan dan orang banyak. Wé Tenrirawépun mempersilhkan makan.
55. ’’Nikmatilah kalian hasil tanahmu di Wadeng.’’ Orang Wadeng mempersilahkan makan sambil mengatakan, ’’Silahkan makan kalian, terimalah juga pemberian kami yang berupa ribuan juak berpontoh, pontoh emas, kado berisi tenunan Melayu.
56. Tak ada perbedeaan Wadeng, Luwu dan Alé Cina. Nikmatilah kalian isi hidanganmu, hanya demikianlah perjamuan orang yang dihanyutkan, orang buangan.
57. Orang yang terbuang di rantau tak ada sanak saudaranya.’’ Pamadeng Letté (Sawerigading) menangis sambil berkata mengatakan, ’’Kita senasib wahai adikku, terbuang bagaikan daun kayu yang diterbangkan angin.’’
58. ’’Kuur semangat dan jiwamu dua bersepupu sekali. Jangan demikian ucapanmu. Tidak ada tempat di permukaan bumi yang bukan milik manurung di Alé Luwu dan Tompo Tikka.’’ Ujar La Tenripeppang Opunna Wadeng.
59. To Palennareng yang sudah datang juga dari Luwu menyampaikan bahwa kedatangannya di Waden adalah mewakili Paduka Raja tuanmu di Aleé Luwu, karena La Mappanyompa datang juga ke Luwu memanggilnya untuk menghadiri upacara di Senrijawa.
60. Paduka Raja tuanmu di Luwu mengatakan bahwa walaupun hanya salah satu anak Sawérigading yang ditempatkan di Luwu, senanglah rasa rindu sedihku. Sawérigading sendiri belum pernah terbayang walaupun hanya berupa mimpi di pelupuk mataku.
61. Selesai makan, para tamupun membersihkan tangannya. Sawérigading bertanya kepada Wé Tenrirawé tentang Tompo Tikka. We Tenrirawé menjawab bahwa telah diutus orang pergi memanggilnya tetapi hanya dia jawab bahwa Pallawa Gauk saja yang disuruh ke Senrijawa menghadirinya (putus cerita di sini, barangkali ada halaman yang hilang)
62. La Massarasa (anak Pallawa Gauk) yang akan singgah nanti di Senrijawa. Dia tidak sempat karena kebetulan akan turun dari langit saudara La Massarasa yang berjodohan dengan orang Boting Langi, La Opu Letté anak sulung We Tenriabeng.
63. To Appanyompa (Sawérigading) bertanya kepada Wé Tenrirawé, apakah selama dia berada di Wadeng, orang tuanya belum pernah datang dari Tompo Tikka. Bagi dia sendiri, Paduka Raja di Luwu mau datang menemuinya di Cina tetpi karena dipantangkan oleh dewa disebabkan karena angkernya sumpah yang pernah diucapkan ’’tidak mau kembali lagi ke Luwu’’.
64. Orang tuaku pernah datang kesini dengan Pallawa Gauk memanggilku kembali ke Tompo Tikka, jawabanku kepadanya hanyalah supaya dia melahirkan saja lagi putri mahkota lalu engkau berikan namaku kepadanya. Kukatakan juga kepadanya bahwa masih terbayang di benakku engkau alirkan aku di laut, supaya kelak aku mati saja di tengah laut.
65. (tidak ada halaman ini)
66. Meremas jari saja keduanya sambil mengucapkan kuur semangat kepadaku. Dia juga mengatakan kalau tidak mau tinggal di Tompo Tkka, tinggal saja di Sawang Megga.
67. Aku juga dijanjikan kalau saya mau menjadi penguasa di langit. Walau aku akan mati, aku tidak mau kembali lagi. Bayangankupun tak mau lagi melihat Sawang Megga. Andai aku bercerai dengan orang Wadeng, biarlah aku membuang diri saja ke tempat lain.
68. Tujuh bulan lamanya tinggal di Wadeng, bahkan meminta aku merangkap kekuasaan di Wadeng dan Tompo Tikka. Dia minta juga La Mappanjompa. Hanya dia bawa To Sibenngareng dengan janji nanti sesudah diadakan upacara ’’ripaenrek raga-ragana’’ baru dikembalikan ke Wadeng.
69. Bahkan waktu Pallawa Gauk kawin dengan orang Boting Langi, lalu isterinya diturunkan ke Tompo Tikka untuk melahirkan, La Massarasa anak laki-lakinya keluar dengan selamat, sedang kembar perempuannya tidak mau keluar dan menurut dukun akan mati bersama dengan ibunya kalau bukan bibinya yang telah dibuang itu datang mengupacarainya.
70. Rasa ketakutan menimpa diri yang dipertuan Wé Adiluwu. Segera datang lagi diangkut angin berembus, angin malam dan fajarnya sangat mengharapkan kedatanganku, jawabanku hanyalah walaupun engkau akan membunuhku, aku tak mau menginjakkan kakiku di Sawang Mégga.
71. Segera kembali ke Tompo Tikka diangkut oleh angin karena ada pesan supaya segera kembali, menantunya dalam keadaan sakarat. Keesokan harinya tangga emas We Tenriabeng diulurkan dari langit menjemputku untuk naik segera ke Boting Langi. Dengan air mata bercucurannya dia memohon kepadaku untuk turun ke Tompo Tikka mengucap anazar agar anaknya hidup selamat dengan bayinya.
72. Oleh karena aku menyatakan maaf sebesar-besarnya, aku tak mungkin lagi ke Tompo Tikka, Wé Abéng mengharapkan lagi walaupun hanya sekejap saja. Aku menjawabnya bahwa kalau demikian biarlah aku mengirim pengganti diri saja bernazar ribuan ekor kerbau cemara.
73. Aku akan menjanjikan nazar besar walaupun aku kehabisan harta nazar asal selamat saja Karaéng Mégga dengan bayinya. Wé Tenriabéng mendesak lagi walaupun hanya sekejap saja, asal saya sudah mengucapkan nazar, lalu kembali.
74. To Létteilek pun mengatakan bahwa kalau demikian biarlah kita jemput saja naik ke langit bersama dengan Wé Adiluwu supaya menyaksikan menantunya. Pancai Wéropun sudah datang diantar oleh petir Guntur. Disempurnakanlah perupacaraannya dan meluncurlah keluar bayi raja itu dengan selamat.
75. Hambamu La Mappanyompa ingin bertunangan dengan bayi raja itu, tetapi Bissu Rilangi mengatakan engkau tak senasib dengan dia karena dia lahir di Boting Langi, akan mewarisi istana Anné Riwéléwélé Essoé di Ruwang Letté.
76. Tujuh malam aku di Ruwang Letté bersama Pallawa Gauk. Kabarnya setelah bayi diupacarakan turun juga dari langit Opu Batara, akan kawin di Sawang Mégga. Sesudah perkawinannya dia mapparola ke Ruwang Letté dan akan turun lagi menjadi tamu di Tompo Tikka.
77. Para aparat dari daerah bawahan berkun jung ke Wadeng, akan datang semua melihat dan menjamu Sawérigading dan La Galigo. Opunna Warek turun ke gelanggang menyabung ayam bersama dengan anak datu tujuh-puluh.
78. Sudah datang juga rombongasn Wé Pawawoi saudara perempuan Opunna Wadeng, orang cantik dari Majang Bombang diiringi dengan alat perupacaraan lengkapnya. Pamadeng Letté (Sawérigading) sangat tertarik pada orang itu, karena bentuk mulut merapatnya, badan menggiurkannya, sama juga dengan kecantikan I Wé Cudai Daéng Risompa.
79. Pendamping Opunna Wadeng mengatakan bahwa pada waktu datangnya Wé Tenrirawé di Wadeng, orang mengatakan sudah ada dua bulan purnama muncul di Alé Wadeng. Sawérigading sendiri menyuguhkan sirih kepada Wé Pawawoi.
80. Wé Pawawoi mengatakan bahwa dia membawa harta kepada To Botoe (La Galigo) untuk dijadikan taruhan sabungan nanti di Senrijawa.
81. Di dalam hati Sawérigading mengatakan sudah ribuan perempuan yang kulihat, belum ada yang sama dengan I Wé Cudai kecuali Wé Pawawoi. Sudah tiga malam keberadaan Sawérigading di Wadeng, sudah penuh sesak tamu dari luar daerah di Senrijawa. Banyak istana yang dipersiapkan untuk tamu undangan itu.
82. Tamu undangan didjemput dengan tari bissu melalui barisan pancangan umbul-umbul serta dipatahkan bambu emas di depan rombongan Sawérigading dan Opunna Wadeng. Membanjir datangnya tamu di pelabuhan perahu
83. Penghuni istana Senrijawa turun semua menjemput dengan pakaian kebesarannya. Ramai sekali perupacaraan penjemputan.
84. Sudah ramai peradatan perupacaraan penjemputan bissu-bissu yang mengiringi usungan keemasan dinaungi payung emas. Gendang kerajaan dibunyikan terus menerus.
85. Sudah turun semua dari usungannya, para penjemput kerajaan yang diiringi ribuan inang pengasuh. Wé Tenrisumpalak turun ke perahu menjemput orang tuanya.
86. Sujud menyembah La Mappanyompa pada ayah angkatnya (Sawérigading). Sawérigading sendiri menyuguhkan sirih dan memangku anak La Mappanyompa sambil menjanjikan hadiah sebuah negeri makmur.
87. Anak yang dipangku itu mengatakan tidak usah diberikan hadiah negeri makmur, tetapi berikan minyak wangi penyapu badan dari langit, akan kupakai apabila kelak aku kawin, supaya dapat dicium oleh semua orang yang hadir..
88. a.Sawérigading akan memberikan minyak yang dapat mengharumi kolong langit dan permukaan bumi, bahkan merangsang keluar langit. Daéng Patappa mengatakan bahwa apakah ucapan Paduka Tuan itu bukan hanya janji pemain judi atau hanya ucapan Opu penybung. (88.b.) Bukan hanya janji-janji kuucapkan kepadamu, nanti di istana kuperlihatkan kepadamu. Pandai sekali berbicara anak ini. Andai kata belum banyak tunangan La Galigo, aku kawinkan dengan Daéng Patappa.
89. Bagaikan saja orang tua mengeluarkan ucapan. Sudah datang juga rombongan dari Ternate, Marapettang. Disapa semua oleh Sawérigading dengan ucapan selamat datang, syukur atas kedatangnnya semua.
90. To Sibenngareng mendatangi semua perahu. Tertegun orang semua menyaksikan kecantikan Tenrisumpalak yang bagaikan anak dewa turun dari langit
91. Dibunyikanlah gendang manurung pengumpul orang banyak. Saling bersibukan penghuni perahu naik ke darat. Diumumkanlah agar disiapkan perupacaraan-raja,kelengkapan persalinan dan hiasan usungan Opunna Warek, La Galigo dan anak datu tujuh-puluh. Bagaikan saja bunyi kayu bergesekan suara usungan.
92. Iring-iringan peralatan bissu sudah mulai dipungsikan. Dipikullah gendang manurung yang berbunyi bagaikan Guntur membahana menggetarkan kolong langit permukaan bumi.
93. Sekali pukul saja tujuh kali bergetar suaranya mengelilingi bumi, menelusuri kayangan didengar di Boting Langi, menggelegar di Péréttiwi sebagai maklumat bahwa tunas manurung di Alé Luwu sedang menghadiri upacara besar.
94. Bergumam semua orang kampung mengatakan bahwa belum pernah menyaksikan hal yang sedemikin ini.
95. Para raja penguasa yang diundang sudah sampai di tempat upacara. Masing-masing menebarkan harta yang banyak. Gadis-gadis perempuan pingitanpun menjenguk dari jendela menyaksikan kedatangan para penguasa dari seberang lautan itu.
96. Para perempuan pingitan itu tidak dapat membayangkan bagaimana nikmatnya menjadi isteri seketiduran dengan orang yang segagah dan seganteng, bagaikan mulus buluh-telang lengannya, bagaikan nampak makanan yang langgar melalui kerongkongannya. Tujuh ribu kerbau dipanggang untu santapan tamu undangan itu.
97. To Appanyompa (Sawérigading) mengingat janjinya, lalu memberikan minyak harum kepada kemanakannya. Keharumannya menyebar di kolong langit permukaan bumi.
98. Cenrara Langi berterima kasih atas pemberian Opunna Warek itu sambil mempersilahkannya turun ke gelanggang sabungan.
99. Cenrara Langi juga menyuruh mengeluarkan minyak yang diberikan oleh Sawérigading, harum-haruman di para-para loteng untuk dibagi-bagikan.
100. Harum-haruman itu diterima oleh Cenrara Langi dari Sawérigading.
101. Para undangan sudah turun ke gelanggang untuk mengadakan sabungan kecuali Sawérigading karena masih merasa letih.
102. Para pengiring dan pendamping Sawérigading turun semua ke gelanggang. Ramai sekali sabungan. Sudah tiba pula kelompok To Padamani (La Galigo) dengan ratusan juak andalan pengikut pengiringnnya.
103. Rombongan raja-raja lainpun sudah tiba dengan pengiring yang berpakaian kilau kemilau. Sudah datang juga I La Galigo To Kellinngé. Raja ini walaupun sudah tidur satu selimut dengan isterinya, tiba-tiba teringat dan terbayang di kepalanya tentang kemenangan ayam mulianya, bangun saja menari melenggangkan badan, meliukkan lengan mulusnya di atas kasur.
104. La Galigo mau melihat bagaimana To Kellinngé itu menari kalau ayam mulianya menang. Diapun mengajaknya mengadu ayam di gelanggang.
105. Pada mulanya I La Galigo To Kellinngé tidak mau mengadu ayam dengan remaja seperi La Galigo itu. Tetapi atas permintaan La Galigo supaya dua nama yang sama dapat nampak di atas panggung disaksikanoleh orang banyak, diapun mengiakannya.
106. To Tenriwalek (I La Galigo To Kllinngé) mengabulkan permintaan La Galigo. Diapun sudah siap naik di panggung sabungan, diangkutkan ayam mulianya, sedang La Galigo memilih ayam bodohnya sudah siap menyusul naik di panggung sabungan.
107. Masing-masing mengasah tajinya, membulang memasang gajungnya kemudian bersama-sama naik di panggung disaksikan juga oleh penghuni istana. Aduan ayampun dimulai. Tujuh kali saja saling menggelepur, ayam Datunna Cina mati terkapar. Menari melengganglah Datunna Kelling mengibaskan berkeliling destarnya, hampir menginjak saja ujung sarung To Padamani.
108. Turut tertawa geli-hati anak datu tujuh-puluh menyaksikan tariannya. La Galigo mengajak lagi bertaruh dengan aduan ayamnya. Sudah berseliweran orang banyak memasang taruhan.
109. Tiga kali saja saling menggelepur, mati terkaparlah ayam mulia Datunna Kelling. Giliran La Galigo lagi mengayun melambaikan destarnya, disaksikan jengukan gadis pingitan di jendela istana.
110. Bagaikan mau runtuh pohom wodi karena teriakan. Gadis pingitanpun mempercakapkan tentang kegagahan, ketampanan dan kegantengan To Sessunriwu (La Galigo) yang bagaikan bulan purnama, hanya disayangkan dia bersifat angkuh dan sombong memandang enteng saja raja sesamanya.
111. Ramai sekali sabungan, belum selesai yang satu, naik lagi yang berikutnya. Beronggok menggunung bangkai ayam, mengiris kaki patahan taji yang bertebaran. Hari mulai malam baru berhenti sabungan itu.
112. Sudah kebanjiran surat cinta sembunyi To Padamani dari gadis-gadis pingitan. Hampir habis hasil taruhannya diberikan kepada gadis-gadis pilihan yang dirayunya.
113. To Sompa Bonga mengajak La Iweng menuju ke Senrijawa. Berangkatlah rombongan orang Létenriwu menuju ke Senrijawa dan Pajung Bannaé di Limpo Majang.
114. Membanjir keberangkatannya dengan pakaian yang indah, diiringi dengan perupacaraan bissu, diangkatkan ketur peludahan buangan sepah sirihnya.
115. Sudah ramai sabungan di Senrijawa, turunlah Opunna Warek dengan pakaian kebesaran kehiyangannya, pergi duduk berdampingan dengan anaknya, didampingi oleh aparat kerajaan juaknya.
116. Bagaikan saja danau yang meluap payung emas naungannya. Sudah tiba pula Pajung Mpéroé dari Léténgriwu dan Pajung Bannaé dari Limpo Majang terus duduk di hadapan Opunna Warek.
117. Berdampingan duduk semua para bulan purnama sangiyang. Dapat disksikan duduk bersama ; Opunna Warek, Opunna Cina, Pajung Mpéroé dari Léténriwu dan Pajung Bannaé dari Limpo Majang.
118. Saling mengadu ayam para orang besar. Tak kedengaran lagi ucpan mulut orang banyak. Gendang berdengung-dengung dan upacara bissu di istana, teriakan pemain judi memekakkan telinga di gelanggang. Sudah disempurnakan upacara untuk ’’juruk’’ yang ditempati acara upacara. Duduk di tengah Dapunta Séreng (penghulu bissu) dikelilingi Puwang Matowa (pimpinan bissu) berupacara kehiyangan.
119. Dapunta Séreng menyuruh melengkapi perupacaraan itu. Tujuh buah piring, telur ayam, beras, sirih, kemudian Dapunta Séreng berdoa mohon dengan bahasa bissu.
120. Nyanyian bissu dilantungkan berganti-ganti oleh para bissu. Kemudian Dapunta Séreng bergerak mendekati To Tenribali.
121. Dia menyampaikan bahwa anakmu itu tidak menerima kalau hanya orang biasa saja yang menghiasi ’’juruk’’. Hiasan yang diminta adalah aneka macam dari Boting Langi yang dipasangkan sendiri oleh Opunna Warek. Dipanggillh Pallawa Gauk untuk mempertimbangkannya.
122. Pallawa Gauk dipanggil di gelanggang untuk naik mengatasi masalah juruk itu karena yang diinginkan oleh Bissu Lolo itu, peralatan hiasan juruk harus didatangkan dari Boting Langi.
123. Sudah naik juga Sawérigading terus duduk di dekat perupacaraan dikelilingi dengan ribuan obor. Tiga malam lamanya duduk para tamu undangan barulah Bissu Lolo itu naik di juruk. Pallawa Gauk meminta pedupaan dan dupa harum pada isteri La Mappanyompa.
124. Pallawa Gauk mengasapi keris warisan orang tuanya lalu menyuruh naik ke Ruwang Letté menemui I Lajiriwu (suami I Tenriabeng) menyampaikan masalah yang dihadapi cucunya di Senrijawa.
125. We Bali tidak mau kalau yang menyertai juruk yang ditempatinya hanyalah orang biasa. Yang diminta adalah pendamping juruknya dari Boting Langi.
126. I Lajiriwu yang ada di Boting Langi menyuruh dahulu upacarai tempat upacara perbissuan itu korban sebanyak dua kali tujuh ekor kerbau dan binatang lain yang ada di langit. Kampung akan ditimpa celaka bagi yang tidak mengupacarainya sebelum Wé Mannédara itu turun ke bumi.
127. a.Yang diidamkan untuk hiasan juruk nitu ada di Takkalalla di luar langit, yaitu ayam remaja bermata cermin. 127.b.Ayam yang bermata cermin itu tidak mau dijadikan alat pelengkap upacara ’’juruk emas’’ di bumi. Gajang Pacciro mengatakan mau atau tidak mau engkau harus tunduk pada perintah dewa.
128. Kalau engkau tidak mau, lehermu akan kupotung, lalu engkau kubawa turun ke bumi. Kebetulan Wé Tenriabéng menjenguk dari jendela menyaksikan pembangkangan ayam itu. Marah sekali Wé Abéng. Segera beterbangan ayam bermata cermin itu turun ke bumi.
129. Sudah tiba Gajang Riciro dari langit menyampaikan pesan supaya ’’baringeng’’ peralatan upacara naik juruk itu dicerak dengan binatang-binatang dari langit itu. Bergegaslah bissu-bissu memulai upacaranya.
130. Upacara bissu berlanjut sepanjang malam. Keesokan harinya sudah berseliweran para tamu undangan. Sudah datang pula beberapa rombongan orang kayangan dari langit termasuk rombongan Daéng Manottek (Wé Tenriabéng).
131. Membanjir datangnya tamu undangan. Salah satunya bernama Senngeng Risompa Daéng Mangkauk, perempuan cantik yang tidak mau bersuami kalau bukan yang disukai. Banyak sekali yang melamarnya belum ada yang diterima.
132. Duduk berdesakan semua para tamu undangan. To Sibenngareng (saudara perempuan La Mappanyompa/ibu We Tenribali) meminta maaf kepada Sawérigading, mohon kiranya beliau memulai pelaksanaan upacara itu, atas permintaan anaknya yang tuppu juruk itu.
133. Gembira sekali La Mappanyompa. Bissu-bissupun sudah mulai menari. Sudah ramai kedengaran bunyi peralatan bissu. Melangit kedengaran suara gendang emas, alat kuur semangat kehiyangan Bissu Lolo (We Tenribali) itu
134. Ratusan Puwang Matowa berupacara dewa. Pada waktu tengah hari, guntur kilat berbunyi, pelangi juga turun dari langit yang dilalui ayunan emas manurung, diantar oleh mannedara.
135. Dijemputlah dengan alat kuur semangat. Sawérigading membaca-bacainya disertai sepah sirih, sedang Puwang Matowa mengayunkan peralatannya dengan ucapan doa permohonannya.
136. Sawérigading naik di atas juruk emas, kelompok bissu mengayun menarikan peralatannya, I La Sarasa anak Pallawa Gauk dari Tompo Tikka menebarkan bertih emas mengayunkan belira keemasan sambil mengucap mantera.
137. Bersamaan semua para aparat kerajaan berganti-ganti naik pada juruk emas sedang Sawerigading naik di puncaknya dikelilingi obor api menyala, bagaikan dewa yang baru turun dari kayangan. Senngeng Risompa si cantik yang tidak mau kawin, khusyuk berdoa memohon kepada dewa di langit supaya Sawérigading mau memperisterikannya.
138. Dia mengambil selembar sirih, lalu menuliskan cinta berahinya, kemudian mengirim kepada Sawérigading, agar dia rela memperisterikannya. Tunduk tertegun dan tertawa Sawerigading membaca daun sirih itu. Hari ini seharian penuh Sawérigading menerima surat yang sama dari perempuan lain.
139. Sawérigading menjawabnya dengan ucapan yang tak dapat didengar orang lain, ’’Engkau cinta kepadaku, saya lebih cinta mendalam di hatiku kepadamu. Hanya sayang sekali, dewa sudah menutup perjodohanku. Andai kata engkau dan aku bertemu sejak dahulu, pada waktu itu aku masih selalu dilanda asmara.’’
140. Memang di dalam hatiku menggelora walaupun hanya melihat bayanganmu. Di samping itu rupanya hatimu tergoda sekali padaku secara mendalam melalui sudut pandangan pengelihatan urat-urat matamu. Rupany engkau menyimpan keinginan yang dapat menjadi penyakit tak terobati atas terkabulnya lagi keinginan rasa hatiku. Hanya aku sampaikan bahwa sudah lampau masa keinginanku pada perempuan.
141. Termenung Senngeng Risompa atas kecendekiaan bunyi surat Sawérigading. Matanya masih melotot melihat ketampanan Sawérigading yang ingin sekali menjadi jodohnya. Sawérigading sudah turun dari juruk emas. Makananpun sudah dipersiapkan. Para penyabung mulai makan kemudian turun kegelanggang.
142. Sedang To Padamani (La Galigo) tak berhenti didatangi surat cinta-sembunyi. Sudah banyak bilik perempuan silih berganti dimasuki secara sembunyi. Tiga malam terus menerus pelaksanaan upacara itu lalu ditutup dengan ucapan doa bissu.
143. Tiga kali saja bissu melantungkan doa, bangunlah keturunan manurung itu dari tempatnya disertai ucapan oleh inang pengasuh Wé Tenribali dengan janji ratusan pelayan pembantu. Sudah sibuk para pengasuhnya mengenakan kepadanya pakaian orang Senrijawa dari Boting Langi.
144. Bagaikan saja anak dewa turun dari langit kecantikan cucu Wé Tenrirawé itu. Berpakaian indah semua penghuni istana, anak raja sebayanya, para pelayan pembantunya, inang pengasuh dan orang dalamnya. Bunyi-bunyian dan peralatan bissu mulai memekakkan telinga.
145. La Tenriliweng mengusulkan agar Bissu Lolo tidak usah lagi naik di juruk emas, karena tidak wajar orang cantik ditonton oleh orang banyak. Uaul ini ditolak oleh Wé Tenribali karena hal itu dipantangkan oleh kepala-kepala bissu tak dinaikkan di atas juruk setelah berpakaian, walaupun hanya sekejap saja.
146. Ratusan Puwang Matowa mengiringinya dengan nyanyian bissu, ribuan sebayanya penghuni istana mengiringi dan mendampinginya. Bagaikan saja bulan purnama kecantikannya berjalan diangkatkan ujung sarungnya.
147. Ada yang mengangkatkan tempat sirih, ketur peludahannya. Tiba-tiba tak dapat mengangkat kakinya. Menyanyi-dewalah Tunek Mangkauk, kemudian menyapu badan anaknya sambil menjanjikan hadiah sebuah kampung besar, agar turut naik di Saoturu keemasan tanpa dilihat oleh para tamu undangan.
148. Tiga kali La Mappanyompa mengucapkan janji hadiah, diangkatlah Tunek Mangkauk oleh Puwang Matowa untuk dinaikkan pada juruk emas, disertai aduan alosu soda tanpa dilihat oleh orang banyak.
149. Tiada berhentinya doa ucapan penghulu bissu Dapunta Séreng. Tepat tengah hari, tak ada angin berembus, tiba-tiba datang topan, awan tebal yang beriringan kilat disertai guntur, datang gelap gulita, turunlah Towa Patalo dari langit.
150. Berdirilah We Sellung Mégga mengangkat Bissu Rilangi lalu membawa masuk ke biliknya, diiringi oleh anak raja sebaya dan bunyi gendang gongnya, disertai taburan bertih dan harta yang banyak yang menenangkan kolong langit permukaan bumi.
151. Tujuh hari tujuh malam pukulan gendang, sekian pula lamanya naik-turun tamu undangan. Menari semalam suntuk para penyabung dan perempuan. Wé Tenribali kawin-dewa, silih berganti tamu undangan memberi hadiah, emas dan pelayan pembantu.
152. To Padamani meminta kepada Wé Tenribali, agar anaknya yang cantik itu dapat keluar menampakkan diri untuk disaksikan oleh orang banyak, akan diberikan juga hadiah. Sawérigading mengatakan mengapa lagi orang yang akan bersanding dengan La Tenriliweng itu dipanggil. Dijawab oleh We Tenribali bahwa walaupun tanpa hadiah akan dikeluarkan juga.
153. Hanya tadi tidak keluar karena masih ada orang Ruwang Letté yang merasukinya tetapi karena sudah selesai ’’tuppu juruk’’ orang langit itu sudah tak mengikat lagi. Unga Wé Majang disuruh menjemput di dalam bilik.
154. Para penghuni bilik sudah berpakaian indah kemudian si tunas mangkauk itu diberi pakaian dan perhiasan ala orang langit. Berangkat keluarlah diiringi oleh dayang-dayang, pelayan dan pengasuhnya.
155. Sudah sampai Wé Tenribali di luar dikelilingi mata memandang. Bagaikan bulan purnama kecantikannya. Dipersilahkan duduk oleh Opunna Warek. To Padamani menyuruh pelayan pembantu memberikan sirih pinang.
156. To Padamani mempersilahkan We Tenribali menyirih, sambil memberikan hadiah berupa pelayan pembantu untuk dijadikan penghuni dan pendamping di istana. Pamadeng Letté (Sawérigading) memperhatikannya, bagaikan bentuk badan dan warna kulit I Wé Cudai waktu mula sampainya di Latanete.
157. Opunna Cina memuji kecantikan Wé Bali. Entah siapa nanti menjadi jodohnya. Banyak orang cantik di Cina tetapi lain juga keadaan kecantikan Wé Bali. Karena Wé Bali menjatuhkan dirinya pada inang pengasuhnya, maka Sawérigading menyuruh kembalikan ke biliknya.
158. Kembalilah Wé Bali diiringi pelayan pembantu dan inang pengasuhnya ke dalam biliknya. Sesudah itu diangkatlah makanan. Berseliweran pelayan pembantu mengatur piring mangkuk untuk makanan orang banyak.
159. Belum berkurang nasi di piringnya, ditambah terus. Selesai makan bunyi gendang berbunyi terus bagaikan mau runtuh Senrijawa karena acara keramaian semalam suntuk. Sawérigading kembali ke istana, dibereskan tempat tidurnya, sekelambu berdua dengan To Palennareng.
160. To Palennareng mengatakan bahwa ada surat emas datang semalam diantar oleh angin. Rupanya ada tambatan hatimu di tempat ini. Kubaca surat itu, berderai air mataku karena mengenang waktu kita masih remaja di Luwu, berjaga-jaga di luar kelambumu.
161. ’’Diamlah, memang Senngeng Risompa ingin sekali kuperisterikan. Menggelegar cinta di dalam hatiku juga tetapi bagiku perjodohan itu sudah ditutup mati oleh To Palanroé (dewa). Bagiku cinta itu hanya bagaikan bunga layu yang jatuh sudah bersatu dengan tanah.
162. Kuur jiwa datu itu. Mungkin akan terbuka perjodohannya juga. Mungkin ada Sawérigading lain akan berjodohan dengannya. Sudah dua tiga kali datang suratnya kepadaku melalui angin. Kutanggalkan pontoh emasku dan cincin buatan kehiyanganku dari jari manisku, kuberikan angin untuk diantarkan kepadanya sebagai penutup malu dan rasa kecewanya.
163. Supaya mereka tidak merasa kecewa karena telah kutolak permintaannya,’’ Ujar Sawérigading sambil tersenyum. To Palennareng menanyakan tentang kecantikan itu. Dijawab oleh Sawérigading bahwa ada tiga ratus datu mangkauk hanya dialah yang paling cantik.
164. Kecantikannya tak melepaskan matanya beralih pandang dari padanya, tak memuluskan makanan langgar di kerongkongannya, sayangnya I Wé Cudai sudah merebut perjodohannya. To Palennareng mempertanyakan lagi apakah dia tidak bisa meminjamkan lengan tempat berbantalnya I Wé Cudai Datunna Cina, betis tampat belitan betisnya supaya dia bisa berjodohan dengan Senngeng Risompa itu.
165. Sawérigading pun tertawa sambil menasehati To Palennareng agar Jangan besar suaranya nanti didengar angin lalu menyampaikannya pada I Wé Cudai di istana Latanété.
166. Akan marah nanti Punna Bolaé Ri Latanété. Rembang tengah hari La Galigo dan rombongannya naik di istana untuk menyirih.
167. La Galigo menjumpai surat emas pada tempat sirih orang tuanya. Dia menyampaikan kepada pendampingnya bahwa tiada akhir-akhirnya gelora cinta itu. Paduka Tuan kita pun yang sudah tua, bukan lagi remaja sebagai raja muda, masih menggelora asmaranya dan dapat melanda gelora asmara cinta perempuan yang melihatnya.
168. Angin yang diutus oleh Senngeng Risompa sudah sampai di Boting Langi, menyampaikan kepada Bissu Rilangi (We Tenriabéng) bahwa dia telah disuruh oleh Senngeng Risompa mengantar surat cinta kepada Sawérigading.
169. Karena Sawérigading tidak mau, maka putuslah harapan gelora cintanya. Dijawab oleh Bissu Rilangi bahwa mungkin besok-besok kalau saja selalu bettemu, Sawérigading akan terlena juga. Wé Tenriabéng menyuruh angin itu ke Cina membohongi Datunna Cina bahwa Sawérigading sudah kawin di Senrijawa.
170. Anginpun melanglang buana menembus angkasa berangkat ke Cina menyampaikan berita kepada I We Cudai bahwa mungkin ada mimpinya semalam. Itu berarti berita penyampaian tentang perkawinan Sawérigading di Senrijawa.
171. I Wé Cuai tertawa saja sambil mengatakan bahwa yang demikian itu tidak usah diherankan. Memang Sawérigading adalah laki-laki yang selalu didambakan oleh wanita di mana saja dia berada. Bagaikan mau keluar-lepas biji mata wanita yagn melototnya. Setiap malam semangatnya datang di pembaringannya menyatakan rasa dirinya makan tidak kenyang, minum tak lepas dahaga tanpa bersamanya di negeri orang.
172. Sudah masuk bulan kedua dalam pelayarannya ke Senrijawa, tak pernah alpa semangatnya bersesarung dengan dia, bahkan ceritera pelayarannya dapat didengar pendamping di luar bilik. Diceritrakan juga semua surat cinta Senngeng Risompa yang ditolaknya.
173. Hanya muncul dalam hati datunna Cina apakah memang ada yang tidak diceriterakan padanya. Tertawa saja dalam hati angin utusan itu mendengar ucapan I Wé Cudai.
174. Kembalilah angin itu ke Boting Langi menyampaikan pertemuan dan pembicaraannya dengan I Wé Cudai kepada Wé Tenriabéng. Sudah penuh sesak orang di Léténriwu dan Senrijawa. Bagaikan mau runtuh langit karena gemuruh suara manusia.
175. Sudah lengkap sempurna hiasan pelaminan. Persis tengah hari, turun gelap gulita diikuti petir kilat, istana bergoyang keras dan pelaminan runtuh merata. Suasan tenang kembali setelah keadaan perupacaraan porak poranda. Diantarlah kain jemputan Puwang Matowa supaya datang ke istana membangun kembali pelaminan itu disertai upacara bissu.
176. Upacara bissupun diadakan sambil membangun kembali pelaminan itu tetapi seharian penuh dikerjakan, pelaminan itu belum berhasil diperbaiki. Dapunta Séreng penghulu bissu dipanggil mengatasi masalah itu, tetapi dia tidak mau datang.
177. Hanya menitip pesan bahwa ada anak dewa dari Ruwang Letté mengamuk merusak pelaminan itu karena dia sendiri yang mau memperisterikan Wé Bali tetapi didahului oleh La Iweng dari Léténriwu. Disarankan oleh Dapunta Séreng, pelaminan yang harus dibangun adalah pelaminan yang pernah dipakai oleh La Mappanyompa waktu kawin dengan We Tenrisumpalak, dipotongkan kerbau bertanduk mas sebagai tumbalnya.
178. Yang mengamuk itu adalah dewa pamilinya juga yang ingin kawin dengan orang Senrijawa tetapi La Iweng yang diterima lamarannya. Saran Dapunta Séreng dilaksanakan diiringi dengan upacara bissu.
179. Berganti-ganti aparat kerajaan menaburkan bertih emas mohon maaf kepada dewa orang Ruwang Letté yang marah itu, Sawérigading duduk mengapit pelaminan bersama dengan Senngeng Risompa yang jarinya gemerlap menyinari sekitar pelaminan itu. Terkenanglah Sawérigading sewaktu mau mengawini Wé Camming Mpuleng yang gagal karena dia berangkat ke Cina.
180. Tak lepas sudut mata Sawérigading mencuri pandang kepada Senngeng Risompa. Dalam hatinya mengatakan tidak ada bedanya dengan I Wé Cudai. Timbul di dalam hatinya untuk kawin sembunyi secara rhasia.
181. Diambilnya selembar sirih lalu meniupnya, maka jadilah daun sirih itu berbicara bak manusia. Disuruh pergi kepada Senngeng Risompa tanpa dapat dilihat dan didengar oleh orang luar, mengatakan bahwa Sawérigading mengutusnya dengan ucapan dia mau jatuh pingsan melihatnya. Dia ingin dikasihani agar dapat diterima bayangannya masuk ke dalam bilik Senngeng Risompa, berbaur semangatnya kelak kalau berada dalam kelambu itu.
182. Kiranya Senngeng Risompa dapat menumpangkan di tempat tidurnya, meminjam tempat berbaring di bawah bulan puranama yang menaunginya, dijadikan tamu mulia dalam bilik, saling mengangkat di dalam sarung, satu semangat dan jiwa berdua. Dijawab oleh Senngeng Risompa bahwa bukan begitu yang dia harapkan. Dia berkeinginan dilamar dengan baik secara terhormat di kerajaannya. Mohon maaf sebesar-besarnya kalau hal itu tidak diiakan.
183. Daun sirih kembali kepada Sawérigading menyampaikan apa jawaban Senngeng Risompa itu kepadanya. Tertawa saja Sawérigading mendengarnya. Berdiri Sawérigading sambil meninggalkan bayangannya, sedang badannya berjalan tanpa dilihat orang lain pergi duduk di hadapan Daéng Risompa.
184. Sawérigading memijit jari Senngeng Risompa waktu disuguhi sirih, sampai kelihatan pucat marah wajahnya. Sawérigading sudah mengetahui ketidak mauan Senngeng Risompa, karena semua wanita yang dipijit jarinya biasanya tertawa, kecuali dia.
185. Sawérigading minta dikasihani utamanya semngat kehiyangannya. Dia menginginkan naungan kelambu. Matanya sudah tergiur atas keelokan paras Senngeng Risompa. Dijawab saja olehnya kiranya jangan terkejut hati orang besar, tak diperbuat yang demikian, tak tertanam di dalam hati berkasih-kasihan secara sembunyi.
186. Yang diinginkan olehnya adalah saling berjodohan disaksikan oleh semua orang banyak. Dia juga menyampaikan bahwa dia tidak menyembunyikan keinginannya untuk berjodohan karena kegagahan Sawérigfading yang diidamkn, ketampanannya melenakan matanya, dia ingin membanggakan dirinya kalau dapat berjodohan dengan opu penyabung yang bagaikan sinar matahari cerah kulitnya. Oleh karena Sawérigading tadinya tidak mau membagi cintanya dengan I Wé Cudai maka diapun menyabarkan hatinya.
187. Sawé Risompa menyuruh Sawérigading menenangkan hatinya. Tertawa saja Sawérigading sambil mengambil sirihnya, dia melihat juga Senngeng Risompa bagaikan nampak jelas sirih langgar di kerongkongannya kalau sedang makan dirih. Duduk saja Sawérigaing terus membujuk Senngeng Risompa tetapi dia tidak mau dibujuk.
188. Sudah bertebaran anak datu tujuh-puluh menuju ke gelanngang. Sawérigading berpesan kepada To Palennareng, kalau besok dia tidak kembali ke istana, jagalah La Galigo, karena dia mau pergi membujuk Senngeng Risompa di tempatnya.
189. Sawérigading berangkat tanpa pengiring kecuali pembawa ketur peludahannya, berjalan sebagai orang biasa saja. Semua orang yang berpapasan dengan dia mencium bau harum penyapu badannya, sampai ada yang mengatakan entah siapa opu penyabung ingin mengeram di dalam kelambu.
190. Bau penyapu badan Sawérigading semerbak tercium di itana setelah memasuki pekarangan, menyebabkan penghuni istana keheranan karena orang besar itu datang pada waktu dinihari tanpa pengawal pengiring. Bahkan ada yang mengatakan, mungkin adapenghuni bilik berjodohan sembunyi.
191. Pada waktu Sawérigading masuk ke dalam istana, dia berpapasan pendamping Senngeng Risompa yang mengantar Sawérigading sampai di bilik tuannya. Dilarangnya pendamping itu memasang pelita.
192. Dia terus membuka kelambu lalu masuk menekan pinggang Senngeng Risompa. Terkejut dan bangun Senngeng Risompa dan menyaksikan Sawérigading. Nampak jelas bercahaya walaupun dalam keadaan gelap gulita. Sawérigading lalu membujuknya dengan ucapan yang lemah lembut tetapi Senngeng Risompa hanya mau kalau bersanding disaksikan oleh orang banyak.
193. Sawérigading menyampaikan bahwa setelah keinginannya itu dikabulkan, sekembali beliau ke Cina akan minta izin pada I Wé Cudai untuk melamarnya. Dijawab saja oleh Senngeng Risompa bahwa asal dia bersanding sekarang walaupun hanya tiga malam saja dia mau pergi lagi meninggalkannya, tidak akan merasa keberatan. Habis anaeka macam janji hadiah yang diucapkan Sawérigading, tetapi dia tidak mau tunduk.
194. Sawérigading menyampaikan bahwa I Wé Cudai tidak mau membagi hasil perjudiannya. Dia meminta lagi supaya Senngeng Risompa meredam saja ketak mauan hatinya, akan diberikan pontoh orang Boting Langi, gelang orang Ruang Letté sambil menyampaikan juga bahwa hatinya seakan-akan sudah kembali ke Alé Luwu kalau permintaannya itu dikabulkan.
195. Tiada bosan dan berhenti La Maddukelleng (Sawérigading) membujuk merayu terus menerus. Pendamping Senngeng Risompa juga memohon kepada tuannya itu, supaya tunduk mengia saja. Pada waktu fajar menyingsing barulah Senngeng Risompa berhasil dijala sarung, selembar sarun g berdua, saling menggesek meliukkan pinggang, memperbantalkan Senngeng Risompa pada lengan mulusnya. Dalam hati Senngeng Risompa mengatakan rupanya bagaikan mayang dan gulungan kapas disentuh kulit orang besar ini.
196. Terlenalah Sawérigading dikarenakan kenikmatan kesejukan digelut betis mulus, lengan gemulai, tumpangan gelang berukir. Memang perempuan akan mati merana kesepian yang ditinggalkan pergi oleh Sawérigding. Hanya sayangnya perbuatan sembunyi ini tak direstui oleh orang banyak.
197. Keesokan harinya anak datu tujuh-puluh kelompok La Galigo ramai dan ribut di istana belajar tari lenggang Maloku, ayun tangan orang Sama.
198. Pergi jalan-jalan keliling kampung saling berpasangan, lenggang orang Maloku jalan orang Sama, tiga kali melangkah satu ayunan tangan. Ribut berteriak penghuni kampung menyaksikannya.
199. Berganti-ganti orang kampung memohon supaya singgah di rimahnya. Alasannya adalah kembalinya sangat ditunggu digelanggang sabungan. Kelompoknya mengharapkan supaya ada hasil judian yang dapat dipergunakan untuk hadiah penghuni bilik.
200. Memperingatkan pada kita waktu kita mulai meninggalkan Luwu berpisah tujuan keberangkatan dengan saudaraku Wé Tenriabéng. Menyembah sambil berkata To Sulolipu mengatakan bahwa tidak baik kalau Sawérigading tidak berlayar ke Senrijawa menghadiri undangan dari Wadeng, lebih-lebih lagi kalau engkau ingat waktu engkau dijemput oleh Wé Tenrirawé tetapi engkau tak mau. (halaman 200 ini mungkin salah satu halaman lepas di bagian awal)
201. Kuperkirakan lebih kecewa orang Wadeng kalau kita tidak menghadiri upacaranya. Langi Paéwang (Sawérigading) membenarkannya, sambil menugaskan beberapa orang sepupu sekalinya menjaga kampung kalau berangkat ke Senrijawa.
202. Kalau ada keluarga kecewa karena tidak diikutkan, mudah-mudahan ada sesuatu upacara juga diadakan di kampung ini dapat menghibur hatinya. (halaman 200,201 dan 202 mungkin halaman tercecer dari awal-awal ceritera)
203. Lima hari lima malam makan hanya satu piring mereka berdua, saling menukar bangkai sirih, baru Sawérigading mau kembali ketempatnya lagi. Dipangku dulu Senngeng Risompa sambil menyapu-nyapu pinggangnya, memijit-mijit jari tangannya, lalu mengucapkan selamat tinggal semoga saja Senngeng Risompa tetap menyimpannya di dalam hati, mengenang di dalam kalbu mengharapkan lagi untuk bertemu kembali.
204. Senngeng Risompa mengucapkan selamat jalan sambil menyatakan bahwa tak sempurna kebahagiaannya, karena Sawérigading tidak mau secara resmi memperisterikannya disebabkan Datunna Cina tidak mau dimadu dan dibagi dua hasil judiannya. Senngeng Risompa juga menyampaikan bahwa kalau Sawérigading tidak mau bercerai dengan isterinya, dimana lagi dapat mendapatkan laki-laki gagah, tampan dan ganteng seperti dia di kolong langit permukaan bumi yang dapat menggantinya.
205. Sawérigading menyatakan bahwa sukar bercerai dengan isterinya. Hanya biasanya sepatah kata-indah saja dapat berobah menjadi rasa marah yang menyebabkan puluhan malam tidak mau menerima bujukan rayunya. Ucapan perceraian biasa muncul di mulutnya. Hanya karena memang padanyalah tempat mukim semangatnya. Mudah-mudahan dia mau tunduk dimadu.
206. Setelah bertukar sirih. mereka berdua bergandengan tangan diiringi pendamping sampai di tangga. Sawérigading menyuruh kembali ke biliknya, dijawab olehnya akan kembali ke bilik kalau dia sudah hilang dari pandangan.
207. Berkesan sekali nikmat yang ditinggalkan oleh Sawérigading padanya pada waktu sesarung. Merayap tak bersayap bagai ikan yu, meresap bagai taji sabungan yang mengakibatkan tak merasa enak lagi makanan langgar di kerongkongan.
208. Gembira sekali Senngeng Mallino menyaksikan upacara yang diadakannya, diramaikan tujuh macam tarian bissu. Banyak sekali raja muda yang terkesan, sampai mengingat tunangnnya yang perkawinannya belum/batal terlaksana, utamanya La Tenriliweng yang pernah melamar untuk kawin dengan Daéng Macora tetapi ditolak, lalu pergi kawin di Senrijawa.
209. Daéng Macora yang dikhianati oleh La Tenriliweng dan sekarang sudah siap bersanding di Senrijawa, menjenguk melalui mjendela memanggil angin-bertiup, lalu minta tolong supaya aneka harta pertunangannya denga La Tenriliweng dikembalikan kepadanya, disertai ucapan pesan
210. Kiranya diberikan harta benda penghianatannya dengan ucapan supaya dipakai saja olehnya sebagai harta pemendek umur hidup bergaya di dunia. Anginpun berangkat melanglang buana menuju ke Senrijawa.
211. Sedang ramai-ramainya tamu undangan mengadakan keramaian disertai bunyi-bunyian yang memekakkan telinga, angin utusan itupun sudah tiba mengembus-embus destar La Tenriliweng menyampaikan harta bendanya serta pesan dari Daéng Macora agar harta penghianatan pertunangan itu dipakai saja sebagai harta pemendek umur.
212. Dijawab saja oleh La Tenriliweng bahwa tidak pernah bersumpah untuk kawin dengan Daéng Macora. Hanya waktu dia melamar Daéng Macora di Méné Empong, orang tuanya mengatakan dia sudah dipertunangkan dengan Wéwang Makketti dari Jawa Barat. Maka itu Daéng Macora kuberi harta benda supaya kalau bisa dia lari saja untuk pergi kawin di negeri lain, tetapi karena tidak ada jawaban, aku melamar di Senrijawa.
213. Dia juga menyampaikan kepada angin bahwa dewa merahmatinya, lamarannya di Senrijawa diterima untuk memperisterikan gadis yang disurupi orang langit menjadi bissu muda. Mati muda juga menjadi kebanggaan baginya asal sudah bersanding dalam upacara besar. Angin berangkat kembali.
214. Angin-berembus menyampaikan berita kepada Daéng Macora. Upacra perkawinan agungpun sudah dimulai diadakan di Senrijawa. Tertanam berjejer lima ratus umbul-umbul bambu keemasan yang berbuahkan buli-buli keemasan dan kempu kecil, bertangkaikan kalung berdaunkan kain dari Boting Langi.
215. Penuh sesak orang di gelanggang. Beriring-iringan usungan raja menghadiri pesta perkawinan. Lebih seribu ekor kerbau dipanggang. Bagaikan mau runtuh langit terbelah bumi karena padatnya tamu undangan. La Galigo meminta supaya sabungan diistirahatkan, supaya pergi menonton dulu.
216. Tujuh ribu orang pengiring pengantin. Bagaikan buah buni langkas pelayan pengiring. Salah seorang pereempuan cantik di dalam usungan yang bernama Wé Tenriwéwangeng Daéng Patallé sepupu sekali Wé Tenribali, sangat mempesona kecantikannya. Untuk dapat melihatnya dengan sempurna mereka bermantera mengembuskan angin berpusar yang dapat menggulung tirai usungannya.

Makassar, 30 Nopember 2008
Terjemahan ringkas,



Drs.Muhammad Salim
RINGKASAN

ISI SUREK GALIGO SAWERIGADING
DAN LA GALIGO KE SENRIJAWA





Oleh :

DRS.MUHAMMAD SALIM

IA NAE SUREK PANGAJANA ABDUL IBADI

Bismillahi rrahmani rrahiim wabihii tsiqatii alhamdu lillahi rabbil alamiin.
Makkedai nabitta sallallahu alaihi wasallam, ’’E Abdul Ibadi, pitu bicara ri laleng mparekenna Allataala.”
Makkedai Abdul Ibadi, ’’Kéna ga kuwaé, é surona Allataala ?’’
Makkedai nabitta sallallahu alaihi wasallam, séuwani lempu, maduwanna getteng, matellunna ada tongeng, maeppana labo, malimanna mekko, maennenna nyameng kininnawa, mapitunna teng mappasilaingeng.’’
Makkedai nabitta Muhammad sallallahu alaihi wasallam, ’’Nigi-nigi mpawa i, malampé sungek i, mawija i, sugi i, uwalliwi, mpiséang ngi tana, ménrék i wijanna, mamala i waramparanngé, enrenngé paddissengenngé. Narékko engka maraddek ri atinna tauwé, mpawa i riamalari ni, riamaséi toni , ia molaiénngi ripoadaéwé, mau séuwa mua, apa gisa nawawa pitu i.’’
Makkedai Abdul Ibadi, ’’E surona Allataala, kéna ga lempu ?’’
Makkedai nabitta sallallahu alaihi wasallam, ’’Eppa lempu, eppa getteng, eppa ada tongeng, eppa labo, eppa mekko, eppa nyameng kininnawa, eppa teng mappasilaingeng.’’
Makkedai Abdul Ibadi, ’’E surona Allataala, kéna kuwa é addupana ?’’
Makkedai nabitta Muhammad sallallahu alaihi wasallam, ’’Séuwani lempu ri aléta, pasitinajaénngi gaukna. Maduwanna, lempu ri padatta tau, maélopik molai, tapaolai wi padatta tau. Matellunna, lempu ri séuwa-séuwaé. Ajak muwabbonga-bongai wi séuwa-séuwaé, dé é attuju-tujunna. Ajak to mupasala onrowi sangadinna engka sukkarakna. Maeppana, lempu ri Allataala, ripappunnanngi aléta ri Allataala, ampé kédo mekko é.
Naia gettenngé, eppa toi. Séuwani getteng ri aléta. Rékko pura i tapoada, ajakna tapinrai. Maduwanna, getteng ri padatta tau, rékkuwa nasengeng ngi madécéng padatta tau, getteng ni ri atimmu madécénngé, mau ni maja muna. Ia misatu nalisu wijanna. Matellunna, getteng ri séuwa-séuwaé. Narékko joppao mutattumpuk ri séuwa-séuwaé, tanngi ri atimmu, iyak pasala, capu-capu i namasigak sau, apak napowonro onrona mupolé tumpuk i. Maeppana, getteng ri Allataala. Narékko napaitaiko ri tinro, ajak muwabatai wi pabbirittana Allataala.
Naia ada tongenngé eppa toi. Séuani ada tongeng ri aléta. Situru pi lillata atitta tapoada i. Maduwanna ada tongeng ri padatta tau. Taita pi, taisseng pi, tapowadanngi padatta tau. Matellunna ada tongeng ri séuwa-séuwaé, iko mua riamaséi, atutui wi pammasému. Narékko temmuwullé matutui wi, wérénngi to makkalitutué, leppessang aré gi , namalaékak é matutui wi. Maeppana ada tongeng ri Allataala, dék mappabbaté rilainnaé Allataala.
Naia alabonngé eppa toi. Séuwani alabong ri aléta. Agi-agi naélori watakkaléta, tawérenngi, narékko engkamui natuppu sarak. Apak ia mua nauttama massipak rianré. Maduwanna alabonnge ri padatta tau. Narékko engka anutta naélori padatta tau, tawérénngi, anu laonréwek mua tu. Narékko teng nawérékko, Allataala pasi mpalek ko. Matellunna alabong ri séuwa-séuwaé. Narékko engka anutta nanré olokkolok, dallékna

mua tu nanré. Maeppana, alabong ri Allataala, riappésonanngi ri Allataala, bata nabatanna, pipi napipina.
Naia mekkoé, eppa toi. Seuwani mekkoé ri aléta, tapatania i aléta ri ada-adaé enrenngé rigauk é.Maduwanna mekko ri padatta tau.Ajak takapang ngi padatta tau ri teng kuwaé. Matelluna, mekko ri séuwa-séuwa é, ita pada-pada i alému ri Allataala. Maeppana mekko ri Allataala, appasikuwaé ri ampé kédo-mekkoé.
Naia nyameng kininnawa é eppa toi. Séuwani nyameng kininnawa ri aléta. Ajak tapawawai wi aléta teng naullé sangadinna amalak é, camming terrui ri Allataala. Apak ia amalak é pada i camminngé.Naia mallinrunngé, pada mui rupaé. Engka mémeng mata, dacculing, ingek, isi, teng taitana mua, tellong pik ri camminngé tanessai wi. Tania camminngé mappakengka. Engka mémeng ngi, kiuttama ttellong ri camminng é. Makkotonisa ro mallinrunngé, teng taitana mua, tellong pik ri amalak é taita i. Makkotoni sa ro tajeppuinna purakkuwata. Maduwanna, nyameng kininnawa ri padatta tau. Ajak tapoadanngi padatta tau teng naélorié. Matellunna, nyameng kininnawa ri séuwa-séuwaé. Lomo-lomo i, cirinnai wi padata ripancaji. Maeppana, nyameng kinninnawa ri Allataala, tapéasseri wi ri atitta, ia mua mappakengka, ia muto mappaddé.
Naia teng mappasilaingenngé, eppatoi. Séuwani, teng mappasilaingeng ri aléta, nawa-nawatta jaji, na teng ncajinna. Ajak tapasilaingenngi, ia mua ritu. Maduwanna, teng mappasilaingenngé ri padatta tau, tapuji gi teng tapuji gi, ajak tapasilaingenngi. Ia mua ritu. Matellunna, teng mappasilaingenng é ri séuwa-séuwaé, napatuju togi, napasala togi, ajak tapasilaingenngi, ia mua ritu. Maeppana teng mappasilaingenngé ri Allataala, napapoléangengta teng taélorié. Ajak tapasilaingeng ngi taélorié teng taélorié.
Naia lempué ritettongi, teng massaranngi Muhammad. Pajellokeng mui laleng, teng rijellokeng.
Naia gettenngé ritettongi, teng massaranngi Nabi Daud, pabicara mui teng ribicara.
Naia ada tongenngé ritettongi, teng massaranngi Nabi Hilir, pasau mui teng risau.
Naia alabonngé ritettongi, teng massaranngi Ajiberaélé, patawai mui teng ritawai.
Naia mekkoé ritettongi, teng massaranngi Mikailu, pasau mui teng risau.
Naia nyameng kininnawaé ritettongi, teng massaranngi Iseraélé, ménrék mui sa teng no.
Naia teng mappasilaingenngé ritettongi, teng massaranngi Israpélé, mappacongak mui sa, teng ripaconga.
Nanigi-nigi tau dék natettongi barang séuwanna adaé wé, pada toni satu passompek teng mitaé pottanang. Asabureng na pongna cappakna.
Nanigi-nigi missenngi, enrenngé pogauk I, nala tellui karanaé wé ia tellu.
Makkedai Abedul Ibadi, ’’E surona Allataala, kéna kuwaé karana tellu ?’’
Makkedai nabitta sallallahu alaihi wasallam, ’’Seuwani karana lino, maduwanna karana aherak, matellunna karana Allataala i. Naia karana lino, mabbéré i natajenngi assiwalekna ri linoé. Naia karana aherak, suruga pawalekna. Naia karana Allataala, Allataala mpérénngi appunnanna.’’
Makkedai nabitta Muhammad, ’’E Abdul Ibadi, naribottina karana linoé. naia mua silasaé. Naribottina karana aherak, naia mua appésonaé. Naribottina karana Allah, naia mua assakkaé.
Naia Abdul Ibadi, natettongi wi, napettui wi appasékuwanngé. Teng maélo toni, teng téa toni. Naia akekana, teng mangauwé, teng massakkaé, leppek ni ri appadduwanngé. Naia lalengenna Abdul Ibadi : sikkirik, tapakkorok, tawajjo. Naia gaukenna sikkirik é, teng mallawangeng ri atié Allahu, Allahu. Makkotoni saro alarapanna atié, to mmoloié api, teng pajaé mabberrung mperrung. Natuwo na apié mattappa. Nasulowi maneng toni satu maéloé natappa.
Makkoniro ampéna Abdul Ibadi naripaissengi alé ri nabitta sallallahu alaihi wasallam. Naita ni to riamaséié. Nariwérénna to mmissenngénngi bicaraéwé. Allataala mua missenngi patujué. Intaha.
YKSS Makassar 5 M e I 2009
Transliterator
Drs.Muhammad Salim
( Boeginesche Chrestomathie, Tweede deel, Amsterdam, l872, hl.263 )